“Akhirnya…”
Di
pagi yang suram, sang surya tertunduk malu. Tersipu oleh hiruk pikuk awan yang
beruntun laksana gerbong-gerbong kereta yang sedang meaju dengan dengan
derasnya. Sederas rasa risau Dina yang tengah duduk disalah satu kursi sebuah
aman. Kederasan itupun mulai mereda tatkala ada seorang misterius, entah itu
siapa. Yang mencoba mendekatinya.
Jaka:
“Kenapa kamu menyendiri? Lihat deh burung itu. Meskipun ia ada masalah, ia tak
pernah menyendiri”
Dina: diam sejenak “Jikalau burung itu tak pernah
menyendiri, pastilah ia mempunyai teman yang sayang padanya”
Jaka:
“Terus, apakah kamu mau bersahabat denganku?”
Dina:
“Laksana sebuah Jalangkung yang datang tak diundang pulang tak diantar”
Jaka:
“Jadi kamu tidak mau bersahabat denganku ?”
Sesaat pembicaraan itu berhenti, si
orang misterius tadi merasa buang-buang waktu saja, karena Dina nampak membisu.
Oleh karena, ia pun meranggah menjauhi Dina.
Dina:
“Tunggu…! Laksana seorang Jalangkung, saya masih mau bersahabat dengannya.”
Jaka:
“Kenalin aku Jaka”
Dina:
“Yup. Sini duduk! Namaku Dina dan sebelumnya aku minta maaf bila kau merasa
tersinggung”
Jaka:
“It’s Okay.. lagian kenapa kamu menyendiri seperti ini? Gak baik buat cewek seperti kamu.”
Dina:
“Begini, aku suka sama salah seorang teman disekolahku, dia itu baik banget.
Tapi kenapa ya? Dia Cuma menganggap aku hanya sebagai teman. Nggak lebih?
Padahal aku sudah ngasih perhatian lebih padanya. Tapi tetap saja dia belum
ngerti perasaanku sesungguhnya.”
Jaka:
“gila ya.. pasti orang yang kamu sukai itu kalau misalnya tau perasaanmu yang
sesungguhnya pasti dia sangat bahagia. Bisa mendapatkan putri yang tulus dan
rela menyendiri seperti kamu”
Dina:
“jikalau hati ini sedang risau, pastilah aku datang kemari. Menemukan kedamaian
hati, menyimpan rasa kasih sayang, membnugkamsenyum dan mengharap balasan
cintanya”
Jaka:
“tapi jikalau pangeran itu dihadapanmu?”
Dina:
“Pasti sekarang sudah aku persilahkan duduk didepanku, sembari ku pegang erat
tangannya, menatap keindahan matanya dan
berkata… I love you. ”
Jaka:
tersenyum dan bertepuk tangan
Dina:
“kenapa kamu jak?”
Jaka:
“nggak kok, Cuma salut saja sama ketulusan cintamu. Sungguh! Baru kali ini saya
menemukan wanita penyair yang sulit mengungkapkan kebenaran cintanya? ”
Dina:
“Ah kamu bisa saja, aku ini bukan wanita penyair. Melainkan wanita pecinta syair. Terus aku harus bagaimana?”
Jaka:
“lho, kok tanya aku. Bukankah wanita pecinta syair mudah menghiasi lantunan
kata-katanya?”
Dina:
“Of course? Tapi tak semua wanita pecinta syair itu mudah menghiasi lantunan kata-katanya
demi cinta”
Jaka:
“Memang aku mengerti keadaanmu. Tapi apakah kamu lupa kalau kau masih mempunyai
hati kecil yang selalu berkata benar dan selalu membuat hisupmu disandang oleh
ke-PD-an”
Dina:
tersenyum manja dan menatap wajah Jaka “Thanks ya atas sarannya. Any way,
apakah kamu sudah menemukan cinta sejatimu?”
Sesaat pertanyaan Dina berakhir.
Jakapun tenggelam dalam kesedihan. Entah kenapa.
Dina:
“Maaf ya, aku lancang menanyakan hal ini padamu”
Jaka:
“Nggak apalah. Aku Cuma terlarut saja pada kepahitan masa laluku”
Dina:
”ini kalau boleh tanya ya, kepahitan seperti apa itu?”
Jaka:
“ini berawal pada saat aku menjalin kasih dengan Ratna. Kami berdua sudah klop,
saling mencintinya. Kami sudah menjalani pacaran selama dua tahun. Setelah itu
Ratna mulai melirik orang lain. Hingga akhirnya memutuskanku. Dia memilih jalan
ini karena lelaki itu anak manajer di sebuah perusahan besar.”
Dina:
“jikalau wanita pergi meninggalkanmu, relakan dia. Biarlah dia menjadi coretan
dalam hidupmu. Karena kaupun tau, sesungguhnya dunia ini tak selebar daun
kelor.”
Jaka:
“Mungkin kau benar! Barang kali dia bukan cinta sejatiku.”
Dina:
“yasudah,, aku cabut dulu ya. Soalnya ini sudah sore. Entar nyokapku marah
lagi.”
Jaka:
“yasudah, lagian aku juga mau pulang. By
the way, rumahmu dimana? Barangkali kita satu komplek”
Dina:
“rumahku di jalan Kenanga, perumahan Nusa Indah. Emang rumah lo dimana?”
Jaka:
“Ship, aku juga tinggal disana. Hanya saja aku jalan Anggrek. Tapi kita tetap
satu arahkan? So,, lets go home.”
Setelah beberapa menit, mereka pun
sampai di jalan Kenanga.
Dina:
“Jak, duluan ya.. ini rumahku. Masuk dulu yuk, biar saya buati minum, pasti
kamu haus”
Jaka:
“jadi ini rumah lo, makasih ya atas tawarannya. Aku ada janji sama temen juga
ni. So lain kali saja.”
Dina:
“Its okay, tapi bener ya? Lain kali
bakalan mampir. Cause pintu ni selalu
terbuka buat lo”
Jaka:
“Ship. See you”
Dina
: “oke”
Waktu terus berputar,memendam sang
surya hingga ia terbangun di ufuk timur. Dinapun bergegas untuk pergi ke
sekolah hingga akhirnya ia pun meluncurkan kakinya menuju kelas
Dina:
“Good morning ta?”
Nita:
“Hay. Pagi juga. Ngomong-ngomong, kenapa kamu Din? Kok kelihatannya seger
banget hari ini”
:
“Nggak Din, bener? Hari ini lo kelihatan lebih anggun, lebih cantik dan ini
terutama: mulai dari lo masuk kelas, bau parfummu itu lo, brr.. kecium banget
tau nggak?”
Dina:
“Ah masak? Biasa saja kali”
Nita:
“hmm,,, bisa-bisanya kamu anggap ini biasa. Ini tu fakta, bukan opini tau
nggak. Ada angin apa ni?”
Dina:
Tengok kanan kinri “Sini aku bisikin.
Siang ini aku mau nembak Farhan”
Nita:
“Apaa..? lo nembak Farhan. Gila ya?”
Dina:
Menutup mulut Nita “Jangan keras-keras begok”
Nita:
“Tapi Din, lo coba pikir deh. Hubungan macam apa coba? Kalau si cewek nembak
duluan. Nggak banget deh”
Dina:
“tapi, jama sekarang, apa si yang nggak mungkin. Terlebih kita sebagai wanita,
kita harus menjunjung tinggi emansipasi wanita”
Nita:
“yaudah lah, semoga sukses. Semoga Farhan bisa mengerti”
Mentaripun terus meninggi hingga
akhirnya dia melewati tandom siangnya. Terdengar bel pulang, Dina[un segera
bergegas dan menemui Farhan di Parkiran.
Dina:
“Han, bisa kita ngobrol sebentar nggak?”.
Farhan:
“Ok mau ngomong apa?”
Dina:
“tapi jangan disini. Di taman belakang saja ya”
(sesampai disana)
Dina:
“sebelumnya saya minta maaf ya, bila selama ini tingkahku ada yang
menjengkelkanmu.”
Farhan:
“yaudah aku maafin. Tapi bisa tidak, kamu langsung ke inti pembicaraan kita”
Dina:
“han, jujur. Aku nggak pernah senarsis ini. Tapi, apalah dikata. Kalau hati ini
memaksa. Jikalau kemarin atau lusa hanya menganggap aku sebagai teman biasa,
sudihkah kamu kalau mulai hari ini menganggap aku sebagai teman yang luar
biasa?”
Farhan:
“maksud lo apa?”
Setelah
pembicaraan itu usai. Mereka berduapun saling berpikir
Dina:
“yaudah. Mungkin ini hal yang bidoh. Tapi aku ini tipikal orang yang nggak bisa
nahan persaaan yang bersarang didada”
Farhan:
“memang aku mengerti perasanmu, tapi maaf ya Din. Aku nggak bisa jadi cinta
sejatimu. Soalnya aku pengen jadi pacarmu”
Dina:
“Apa? Aku nggak salah dengar kan?”
Farhan:
“ya… I Love You”
Dina:
“I Love You Too”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar