Banyak
media yang dapat dipakai oleh masyarakat di abad ke 21 ini, sehingga
kehadirannya sangat menentukan dalam kehidupan bermasyarakat. Jenis media massa
tersebut seperti media cetak yang terdiri dari koran (harian), tabloid,
majalah, dan media elektronik seperti radio, televisi dan yang paling mutakhir
saat ini media online atau dikenal
dengan internet. Dari aneka ragam media yang ada, masyarakat sepertinya masih belum siap dalam menghadapi semua ini.
Sehingga dalam perkembangannya, bahasa Indonesia terkesan masih kalah pamor dengan bahasa asing. Sebagaimana yang tersurat
dalam antaranews.com (3/1) “Bangsa Indonesia kini
menghadapi krisis bahasa berupa pemakaian bahasa asing yang tidak proporsional
dan pencampurbauran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris.
“Krisis bahasa itu juga disebabkan oleh
hilangnya kecintaan terhadap bahasa daerah dan masuknya bahasa asing ke
Indonesia dalam layanan umum berupa merek dagang melalui jalur investasi,
Bahasa Inggris juga dianggap memiliki daya jual dan daya pengangkat marwah dan
wibawa. Itulah sebabnya merek dagang, spanduk, nama perusahaan dan nama hotel
atau layanan umum lainnya hampir semuanya dalam bahasa Inggris. hal ini
merupakan salah satu bukti bahwa kita mengalami krisis bahasa yang juga berarti
mengalami krisis identitas atau jati diri " kata Kepala Balai Bahasa
Medan, Prof Amrin Saragih
Semakin
majunya perkembangan teknologi di Indonesia seakan membuat media masa,
khususnya, mempunyai peran fital dalam membina
dan mengembangkan Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, tampak dengan jelas, kasus
yang melibat sepasang kekasih yakni Vicky Prasetyo dan Saskia Gotik atau yang lebih
dikenal dengan bahasa Vickynisasi. Penggunaan diksi
yang tidak umum ini dalam arti adalah diksi yang biasa digunakan oleh banyak
kaum intelektual atau akademisi, misalnya: -isasi, -isme, dan lain-lain. Lebih
parahnya kasus ini terbawa hingga ke siding kasus korupsi Fathonah, dan masih
belum cukup lagi, bahasa “seolah intelek” ini juga dibawakan oleh Syahrini
dalam wawancaranya yang dapat dilihat di
you tube.
Tidak
perlu berbicara banyak tentang masyarakat Indonesia. Di dalam surat kabar Jawa Pos
(14/09/2013) karya tulisan Winangun juga menjelaskan bagaimana Presiden
kita belum mampu berbicara di sebuah
acara formal dengan bahasa yang baik dan benar. Bagaimana tidak, di dalam pidato
saat membuka perdagangan Bursa Efek Indonesia yang berdurasi 1 jam, 8 menit,
Presiden SBY telah menggunakan 54 kalimat yang bercampur dengan bahasa Inggris.
Antara lain, “Lebih baik yang realistic,
achievable, attainable” dan “Sambil kita membangun diri menuju emerging power, emerging nation, emerging
country, emerging economy, mari kita pastikan tiga pilar itu secara
simultan.”
Hal
ini menunjukkan bahwa bangsa ini masih belum cukup untuk menghadapi beberapa
tantangan global di antaranya pasar bebas yang sebenarnya butuh bahasa
Indonesia supaya dikenal di luar negeri. Sabagaimana bahasa Indonesia yang
sudah diajarkan di beberapa kota di Autralia. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa
mengikuti perkembangan ASEAN Community, bila dari segi bahasa saja masih tidak
pandai.
Oleh
karenanya, butuh sinergitas yang baik, dari aparat pemerintahan, sistem
pendidikan, dan media.
Pada
akhirnya, fenomena ini bukanlah sebuah kesalahan satu individu saja yang
disorot oleh massa untuk diperbincangkan dan dipermasalahkan. Namun bagaimana
bangsa ini mampu bercermin dan merenungkan sebab yang menghadirkan akibat
seperti contoh bahasa Vickynisasi ini sendiri. Maka dari apa yang telah
dipelajari jika ditarik hubungan ke belakang dan sedikit mengingat tentang mata
pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dasar sampai bangku sekolah
menengah atas, ternyata pengajaran bahasa Indonesia masih belum mumpungi dan
tidak ada inovasi seperti pengajaran bahasa Inggris. Sehingga hal ini membentuk
sebuah identitas yang buruk dalam hal berbahasa.
REFERENSI:
Maharani, Dian. 2013.
Vickinisasi Pun Mampir di Sidang
Fathanah. Dalam http://nasional.kompas.com/.
Diunduh pada 9 Oktober 2013. Pukul 17:27 WIB.
Moeliono, Anton.
1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Ancangan Alternatif di Dalam
perencanaan bahasa. Jakarta: Djambatan.
Rahardi,
Kunjana. 2002. Dimensi-dimensi
Kebahasaan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar