cetar membahagiakan

inilah salah satu percobaanku

Rabu, 09 Januari 2013

contoh kajian novel


Kajian cerpen
“Angin dari Gunung”
Karya AA Navis
Berdasarkan hasil pemahaman yang telah saya dapat melalui membaca karya sastra ini, saya dapat menganalisis beberapa konflik yang dihadirkan oleh penulis, baik disengaja maupun tidak.
1.      Judul
Dari judulnya “Angin dari Gunung”, mengandung arti yang cukup mengesankan. Sebuah judul yang bisa dikatakan mencerahkan, karena angin dari daerah pegunungan itu cenderung segar dan membuka pikiran kita untuk berkarya. Namun setelah saya membaca keseluruhan dari ceritanya, malah berbanding terbalik. Judulnya sama sekali tidak seperti apa yang saya paparkan diatas. Penulis menulis cerpen dengan sebatas judul. Kemungkinan penulis membuat judul itu hanyalah berdasarkan suasan dan setting tempatnya.
2.      Alur
Cerpen ini mempunya alur maju mundur. Dimulai dari hal yang nyata, kemudian kembali ke masa lalu. Terlihat dari kalimat: “ketika itu seperti macam sekarang, kita duduk seperti ini juga, tapi tempatnya bukan disini.”(halaman 3)
Konflik yang dihadirkan penulis dalam cerpen ini adalah sang tokoh utama yang sama sekali tidak peduli dengan masa lalunya bersama Uni Unun. Padahal Uni Unun sangatlah menginginkan hal itu kembali hadir, namun melihat ekspresi tokoh aku yang acuh, maka ia terjatuh dalam penyesalan, hingga membantingkan batinnya kemudian bangkit kembali. Alur yang dihadirkan tidak kronologis, karena pertemuan itu berlangsung begitu saja dan sampai akhir ceritapun tidak cukup menjelaskan perputaran cerita yang wajar.


3.      Penokohan
Tokoh aku merupakan tokoh utama, mungkin ini juga berhubungan erat dengan sifat penulisnya. Tokoh utama ini bersifat acuh namun diakhir cerita, hatinya mencair, sama sekali tidak memperdulikan masa lalu. Ia selalu beranggapan bahwa yang lalu biarlah berlalu. Karena ia sekarang mempunyai masa depan yang harus ia jalani. Sebagai seorang ayah dan suami. Pertemuannya dengan Uni Unun secara tidak langsung memakan waktu yang cukup lama. Uni Unun, sosok wanita yang kini tidak mempunyai tangan. Dari sini tibul konflik, ia menyesali semua yang telah terjadi, namu itu tidak berlangsung lama. Dan ketiadaan tangan Uni Unun juga menuah tanda tanya bagi pembaca. Apa sebenarnya penyebab tangan itu bisa buntung. Ini juga diperkuat dengan kalimat: “….hidup selama itu tidaklah akan selamanya berlangsung. Suatu masa kelak akan berakhir juga.”(halaman 5)
Sifatnya yang aneh, pasrah terkadang juga member semangat tersendiri baginya. Terlihat dari kalimat: “Dan waktu itu aku sering merasa jumlah tanganku kurang. Aku mau tanganku lebih banyak lagi. Kalau boleh sebanyak jari ini” (halaman 5)
“Dan kalau perang sudah selesai, saya ingin bersekolah lagi” (halaman 5)
4.      Setting
Menurut perkataan Uni, Pertemuan kedua tokoh tersebut adalah pertemuan secara spontan. Namun pertemuan tersebut tidak menjelaskan awal cerita si tokoh aku sedang apa, hingga ia bisa bertemu dengan Uni. Baik latar waktu maupun tempat masih bermakna ambigu. Waktu yang mulanya dibilang pagi, namun ternyata Cuma halusinasi Uni dengan perasaannya, dibilang siang juga tidak ada yang mendukung argument ini. Kemudian dari latar waktu, memang tampak jelas, bahwa keduanya berada disebuah tempat yang tembus pandang dengan gunung. Namun inipun masih bersifat ambigu. Tempat yang seperti apa, dan jelasnya tidak dipaparkan secara detail. Banyak tempat yang bisa digunakan untuk melihat gunung, diantaranya, kebun, taman, diatas apartemen, di persawahan dan masih banyak lagi yang lainnya.
5.      Sosiologis
Hubungan kedua tokoh tersebut masih tampak jauh, walaupun dulunya dekat. Hubungan diantara keduanyapun menghadirkan sebuah stigma tentang Uni yang tertekan batinnya dan aku yang menyesali keacuhannya. Sudut sosiologi yang ada merupakan jenis yang ditebak, bila dikatan sebagai seni, maka juga merupakan karya yang punya estetika seni yang tinggi melalui penggunaan bahasanya. Bila dikatakan sebagai jenis pop, maka ini juga tidak bisa disangkal, karena konflik yang ada didalamnya merupakan konfilk yang umum dalam masyarakat.
6.      Psikologis
Psikologi kedua tokoh tersebut cenderung berubah dan tidak konsisten. Ada hal lain yang dihadirkan penulis dalam alur cerita cerpen tersebut, yakni tokok Uni yang lagaknya menginginkan semuanya terulang lagi ditambah dirinya yang jatuh dan bangkit dari nestapa hidup. Terlihat dari kalimat: “Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini kau lihat? Bunting karena perang,dan aku tak lagi dapat merasa bahagiaseperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali, mulanya aku suka menangis. Menagisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menagis lagi, tak ada gunanya menagisi masa lampau. Baut apa?” (halaman 3)
Terlihat juga psikologis Uni yang cenderung berpangku kepada neneknya yang sudah tua. Terlihat dengan kalimat: Tapi kalau nenek tak ada lagi, aku tidak memerlukan apa-apa pula. (halaman 9)
Gadis belia yang terpuruk dan mempunyai tekanan batin yang cukup tinggi.
Tokoh aku mempunyai psikolgi yang mudah jatuh kedalam perasaan orang lain (empati) terbukti dengan: “Aku tak merasa terpaan angin dari gunung itu lagi, yang ku rasakan terpaan ucapannya pada mukaku karena merasa sebagi umpatan yang pahit tapi dicelupkan dengan tengguli”(halaman 7)
Itulah konflik yang cukup bergejolak diantara kedua tokoh tersebut.
7.      Sudut pandang
Penulis menggambarkan para tokoh dalam cerpen tersebut adalah sebagai orang serba tahu. Konflik yang ada dalam sudut pandang ini adalah penulis sebagai orang serba tahu tidak berkuasa untuk menceritakan kondisi secara kronologis.hubungan antara nenek, Uni dan gadis kecil. Penulis serba tahu namun dia juga tidak tahu bagaimana Uni dan gadis kecil tadi kembali hingga hilang di balik semak-belukar.
8.      Hubungan penulis dengan tokoh cerita
Masalah mungkin yang pertama kami kaji disini. Terutama hubungan penulis dengan cerita yang ada. Hubungannya masih tidak jelas dan terkesan mengapung. Terbukti dengan tidak padunya kalimat kemana Uni Nuun? Halaman delapan, dengan kalimat yang meruntut dibelakangnya.
9.      Pandangan dunia luar tentang masalah yang ada dicerpen
Konfliknya kurang jelas, asal usul Uni, dan latarnya masih ambigu jadi masih belum mengena di hati para pembaca. Selaku pembaca masih menyimpan kebingungan, makna besar yang dapat dijadikan benang merah untuk cerpen ini apa? Apa manfaat bagi pembaca? Kemudian dari segi implikasi, lami kira ektasenya kurang greget. Cuma cerita kepahitan Uni yang kemudian bangkit lagi. Dan kemudian menceritakan hal yang lain.
10.  Sorotan penulis terhadap masalah yang ada dicerpen
Penulis menganggap hal yang wajar dengan cerpenya, karena itu memang fiksi buatannya. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana penulis itu menjelaskan kronologis yang ada dengan menggunakan kalimat yang masih ambigu. Dibuktikan dengan kalimat: “Kaki itu kaki yang dulu juga. Kaki yang pernah menggodaku.” (halaman 5)
Penulis kurang menyoroti sejarah kepuntungan tangan Uni. Dia tidak menjelaskan secara detail implikasi kepada pembaca terhadap tiap-tiap kalimatnya.
11.  Implikasi terhadap masyarakat
Masih belum dapat berdampak, karena masih kebingungan diakhir cerita, apa makna yang tersirat dalam cerpen itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar